PENGANTAR EPIDEMIOLOGI

“Epidemiologi” berasal dari dari kata Yunani epi= atas, demos= rakyat, populasi manusia, dan logos = ilmu (sains), bicara. Secara etimologis epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari faktor-faktor yang berhubungan dengan peristiwa yang banyak terjadi pada rakyat, yakni penyakit dan kematian yang diakibatkannya yang disebut epidemi. Kata “epidemiologi” digunakan pertama kali pada awal abad kesembilanbelas (1802) oleh seorang dokter Spanyol bernama Villalba dalam tulisannya bertajuk Epidemiología Española (Buck et al., 1998). Tetapi gagasan dan praktik epidemiologi untuk mencegah epidemi penyakit sudah dikemukakan oleh “Bapak Kedokteran” Hippocrates sekitar 2000 tahun yang lampau di Yunani. Hippocrates mengemukakan bahwa faktor lingkungan mempengaruhi terjadinya penyakit. Dengan menggunakan Teori Miasma Hippocrates menjelaskan bahwa penyakit terjadi karena “keracunan” oleh zat kotor yang berasal dari tanah, udara, dan air. Karena itu upaya untuk mencegah epidemi penyakit dilakukan dengan cara mengosongkan air kotor, membuat saluran air limbah, dan melakukan upaya sanitasi (kebersihan). Teori Miasma terus digunakan sampai dimulainya era epidemiologi modern pada paroh pertama abad kesembilanbelas (Susser dan Susser, 1996a).

Pertengahan abad kesembilan belas terjadi wabah kolera di London. Seorang dokter anestesi bernama John Snow melakukan serangkaian investigasi untuk mengetahui penyebab wabah tersebut antara 1849 dan 1854. Dalam investigasi itu Snow mengamati banyak kematian terjadi pada populasi yang menggunakan sumber air dari pompa air di Broad Street London. Air tersebut disuplai oleh sebuah perusahaan air minum yang menggunakan air di bagian Sungai Thames yang tercemar limbah. Snow menemukan, angka kematian karena kolera pada populasi yang menggunakan air minum tersebut lebih tinggi daripada populasi yang tidak menggunakan air minum itu. Snow menyimpulkan, air minum tercemar merupakan penyebab epidemi kolera. Berdasarkan hasil investigasi Snow, otoritas di London menutup pompa air Broad Street untuk memutuskan transmisi, tidak lama kemudian epidemi kolera berhenti. Era epidemiologi penyakit infeksi dimulai sejak investigasi Snow dan makin berkembang seiring dengan munculnya ilmu baru mikrobiologi pada paroh kedua abad kesembilanbelas. Sekitar satu dekade pasca investigasi Snow baru diketahui bahwa patogen penyebab epidemi kolera adalah Vibrio cholera. Epidemiologi penyakit infeksi menggunakan Teori Kuman (Germ Theory). Teori Kuman menjelaskan bahwa penyakit disebabkan oleh agen infeksi sebagai kausa tunggal. Upaya pencegahan penyakit infeksi dilakukan dengan cara memutus transmisi, meliputi pemberian vaksin, isolasi dengan karantina, isolasi di rumahsakit, dan pemberian antibiotika (Susser dan Susser, 1996a).

Mula-mula epidemiologi hanya mempelajari epidemi penyakit infeksi. Kini epidemiologi tidak hanya mendeskripsikan dan meneliti kausa penyakit epidemik (penyakit yang “berkunjung” secara mendadak dalam jumlah banyak melebihi perkiraan normal) tetapi juga penyakit endemik (penyakit yang “tinggal” di dalam populasi secara konstan dalam jumlah sedikit atau sedang). Epidemiologi tidak hanya mempelajari penyakit infeksi tetapi juga penyakit non-infeksi. Menjelang pertengahan abad keduapuluh, dengan meningkatnya kemakmuran dan perubahan gaya hidup, terjadi peningkatan insidensi penyakit kronis di negara-negara Barat. Sejumlah riset epidemiologi lalu dilakukan untuk menemukan kausa epidemi penyakit kronis. Epidemiologi penyakit kronis menggunakan paradigma “Black box”, yakni meneliti hubungan antara paparan di tingkat individu (kebiasaan merokok, diet) dan risiko terjadinya penyakit kronis, tanpa perlu mengetahui variabel antara atau patogenesis dalam mekanisme kausal antara paparan dan terjadinya penyakit. Upaya pencegahan penyakit kronis dilakukan dengan cara mengontrol faktor risiko, yaitu mengubah perilaku dan gaya hidup (merokok, diet, olahraga, dan sebagainya)(Susser dan Susser, 1996a).

Pada awal abad keduapuluhsatu terjadi transisi epidemiologi menuju paradigma baru dalam memandang dan meneliti kausa penyakit, disebut eko-epidemiologi. Eko-epidemiologi menggunakan paradigma “Chinese box” yang menganalisis mekanisme kausal terjadinya penyakit pada level lingkungan sosial (masyarakat) maupun patogenesis dan kausa pada level molekul. Tidak seperti paradigma “Black box” yang menganalisis hubungan paparan-penyakit pada level individu, paradigma “Chinese box” menganalisis sistem yang menyebabkan terjadinya sistem yang menyebabkan paparan bisa berlangsung untuk menyebabkan terjadinya penyakit. Eko-epidemiologi mempelajari sistem yang menghubungkan aneka faktor risiko pada masing-masing level populasi, individu, sel, dan molekul, maupun lintas level, dalam suatu bentuk hubungan yang koheren, yang semuanya bekerja menuju tujuan bersama, yaitu menciptakan penyakit. Riset eko-epidemiologi membutuhkan pendekatan multidisipliner. Upaya pencegahan penyakit dilakukan dengan menerapkan teknologi informasi dan teknologi biomedis, untuk menemukan intervensi yang efektif pada level masyarakat dan molekul (Susser dan Susser, 1996a,b; Koopman, 1996; Tuskegee University, 2011).

Bab ini mengantar pembaca kepada epidemiologi, dimulai dengan penjelasan tentang definisi dan lingkup epidemiologi, tujuan dan kegunaan epidemiologi, dilanjutkan dengan ulasan tentang perspektif populasi dan biomedis dalam epidemiologi, penjelasan tentang prinsip dan metode epidemiologi, dan uraian tentang cabang-cabang epidemiologi.

DEFINISI DAN LINGKUP

Epidemiologi merupakan disiplin ilmu inti dari ilmu kesehatan masyarakat (public health). Profesor Sally Blakley dalam kuliah pengantar epidemiologi pada Tulane School of Public Health and Tropical Medicine, New Orleans, pada 1990 menyebut epidemiologi ”the mother science of public health” (Blakley, 1990). Kesehatan masyarakat bertujuan melindungi, memeli-hara, memulihkan, dan meningkatkan kesehatan populasi. Sedang epidemiologi memberikan kontribusinya dengan mendeskripsikan distribusi penyakit pada populasi, meneliti paparan faktor-faktor yang mempengaruhi atau menyebabkan terjadinya perbedaan distribusi penyakit tersebut. Pengetahuan tentang penyebab perbedaan distribusi penyakit selanjutnya digunakan untuk memilih strategi intervensi yang tepat untuk mencegah dan mengendalikan penyakit pada populasi, dengan cara mengeliminasi, menghindari, atau mengubah faktor penyebab tersebut.


Pada 1983 International Epidemiological Association mendefinisikan epidemiologi "the study of the distribution and determinants of health-related states or events in specified populations, and the application of this study to control of health problems” - Epidemiologi adalah “studi tentang distribusi dan determinan keadaan dan peristiwa terkait kesehatan pada populasi, dan penerapannya untuk mengendalikan masalah kesehatan” (Last, 2001). Berdasarkan definisi itu lingkup epidemiologi dapat diterangkan sebagai berikut.

Studi. The American Heritage -Stedman's Medical Dictionary mendefinisikan kata “study” sebagai “research, detailed examination, or analysis of an organism, object, or phenomenon” – studi adalah “riset, penelitian terinci, atau analisis tentang suatu organisme, objek, atau fenomena”. Kata kerja “study” berarti melakukan riset, meneliti, atau menganalisis sesuatu. Kata “study” juga berarti suatu cabang ilmu, sains, dan seni “... a particular branch of learning, science, or art” (Dictionary.com, 2011).

Epidemiologi merupakan sains. Sains berkembang untuk 3 tujuan utama: menjelaskan (explanation), memprediksi (prediction), dan mengendalikan (control) (Strevens, 2011). Jadi bukan sains jika tidak bertujuan untuk menjelaskan terjadinya fenomena, meramalkan fenomena, mengontrol fenomena tersebut agar bermanfaat bagi manusia dan tidak merugikan manusia. Untuk menjelaskan, memprediksi, dan mengontrol fenomena, sains menggunakan metode ilmiah (scientific method). Demikian pula sebagai sebuah sains, epidemiologi menggunakan metode ilmiah untuk menjelaskan distribusi dan determinan penyakit, meramalkan terjadinya penyakit, dan menemukan strategi yang tepat untuk mengontrol terjadinya penyakit pada populasi sehingga tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting (Slattery, 2002). Metode ilmiah meliputi perumusan masalah penelitian, pengujian hipotesis, pengumpulan data melalui pengamatan dan eksperimentasi, penafsiran data, dan
penarikan kesimpulan yang logis. Metode ilmiah berguna untuk menarik kesimpulan yang
benar (valid) dan dapat diandalkan dalam jangka panjang (reliable, consistent, reproducible).

Keadaan dan peristiwa terkait kesehatan. Epidemiologi mempelajari tidak hanya
penyakit tetapi juga aneka keadaan dan peristiwa terkait kesehatan, meliputi status kesehatan,
cedera (injuries), dan berbagai akibat penyakit seperti kematian, kesembuhan, penyakit kronis,
kecacatan, disfungsi sisa, komplikasi, dan rekurensi. Keadaan terkait kesehatan meliputi pula
perilaku, penyediaan dan penggunaan pelayanan kesehatan.

Distribusi. Distribusi (penyebaran) penyakit pada populasi dideskripsikan menurut orang
(person), tempat (place), dan waktu (time). Artinya, epidemiologi mendeskripsikan
penyebaran penyakit pada populasi menurut faktor sosio-ekonomi-demografi-geografi, seperti
umur, jenis kelamin, pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, ras, keyakinan agama, pola
makan, kebiasaan, gaya hidup, tempat tinggal, tempat bekerja, tempat sekolah, dan waktu
terjadinya penyakit.

Studi epidemiologi yang mempelajari distribusi penyakit pada populasi disebut
epidemiologi deskriptif. Dengan epidemiologi deskriptif dapat diketahui besarnya beban
penyakit (disease burden) pada populasi tertentu, yang berguna untuk menentukan diagnosis
masalah kesehatan pada populasi dan menetapkan prioritas masalah kesehatan. Pengetahuan
itu selanjutnya dapat digunakan untuk membuat rencana alokasi sumber daya yang diperlukan
untuk mengatasi masalah kesehatan. Studi epidemiologi deskriptif juga berguna untuk
merumuskan hipotesis tentang determinan penyakit. Gambar 1 menyajikan contoh deskripsi
distribusi penyakit menurut orang, tempat, dan waktu, dari suatu investigasi outbreak.



Determinan. Epidemiologi mempelajari determinan penyakit pada populasi, disebut
epidemiologi analitik. Determinan merupakan faktor, baik fisik, biologis, sosial, kultural, dan
perilaku, yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit. Determinan merupakan istilah yang
inklusif, mencakup faktor risiko dan kausa penyakit. Faktor risiko adalah semua faktor yang
berhubungan dengan meningkatnya probabilitas (risiko) terjadinya penyakit. Untuk bisa
disebut faktor risiko, sebuah faktor harus berhubungan dengan terjadinya penyakit, meskipun
hubungan itu tidak harus bersifat kausal (sebab-akibat) (Last, 2001). Contoh, tekanan darah
tinggi, kadar kolesterol tinggi, dan kebiasaan merokok tembakau, merupakan faktor risiko
penyakit jantung koroner, karena faktor-faktor tersebut berhubungan dengan meningkatnya
risiko terjadinya penyakit jantung koroner. Usia muda merupakan faktor risiko campak, karena
populasi berusia muda belum memiliki imunitas yang dibentuk dari paparan dengan epidemi
campak sebelumnya, sehingga memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami campak.

Faktor risiko dapat dibedakan menjadi faktor risiko yang dapat diubah (modifiable risk factor) dan faktor risiko yang tak dapat diubah (unmodifiable risk factor). Contoh, merokok merupakan faktor risiko kanker kolon yang dapat diubah, karena kebiasaan merokok bisa dihentikan. Usia merupakan faktor risiko kanker kolon yang tidak dapat diubah. Orang berusia 50 tahun ke atas memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami kanker kolon daripada usia kurang dari 50 tahun, tetapi usia tidak bisa diubah.

Sebaliknya, semua faktor yang berhubungan dengan berkurangnya risiko untuk terjadinya penyakit disebut faktor protektif. Contoh, vaksin, kolesterol HDL, penggunaan kondom, merupakan faktor protektif.

Kedekatan (proximity) individu dengan suatu determinan penyakit sehingga individu dapat berisiko mengalami penyakit disebut paparan (exposure). Epidemiologi analitik mempelajari hubungan kausal (sebab-akibat) antara paparan suatu determinan dan terjadinya penyakit. Paparan merupakan konsep yang penting dalam epidemiologi, karena paparan merupakan prasyarat bagi determinan penyakit untuk bisa mulai menyebabkan penyakit, atau memulai terjadinya infeksi pada penyakit infeksi. Jika terdapat determinan, faktor risiko, dan kausa penyakit, tetapi tidak terdapat paparan (kedekatan) individu dengan determinan itu, maka individu tidak akan mengalami penyakit. Pengetahuan tentang paparan suatu faktor sebagai kausa penyakit berguna untuk mencegah dan mengendalikan penyakit pada populasi, dengan cara mengeliminasi, menghindari, atau mengubah kausa.

Dua asumsi digunakan dalam epidemiologi deskriptif dan analiitik. Pertama, penyakit tidak terjadi secara random (acak) melainkan secara selektif terkait dengan faktor penyebab penyakit. Artinya, penyakit pada populasi tidak terjadi secara kebetulan, melainkan berhubungan dengan faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit, disebut determinan penyakit. Kedua, faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit dapat diubah sehingga dapat dilakukan upaya pengendalian dan pencegahan penyakit pada populasi (Hennekens dan Buring, 1987).

Populasi. Seperti sosiologi dan demografi, epidemiologi merupakan sains populasi (population science). Epidemiologi mempelajari distribusi dan determinan penyakit pada populasi dan kelompok-kelompok individu, bukan pada individu. Populasi bisa merupakan masyarakat di sebuah kota, negara, atau kelompok umur tertentu, komunitas pekerja tertentu, ras tertentu, masyarakat miskin, dan sebagainya. Pengelompokan individu menurut karakteristik sosio-ekonomi-demografi-geografi, dengan mengabaikan keunikan masing-masing individu, dapat memberikan petunjuk awal tentang hubungan antara karakteristik itu dan terjadinya perbedaan distribusi penyakit pada kelompok tersebut. Dalam buku “Modern Infectious Disease Epidemiology”, Giesecke (2002) menulis: “We all have a number of characteristics that group us with other people – we are either male or female, we are of a certain age, we live in a certain area, we have certain dietary habits and behaviours, etc., and we share those characteristics with varying numbers of our fellow human beings. Epidemiology identifies such groups, ignoring the uniqueness of its members, and tries to determine whether this division of people into groups tells us something more than we could have learned by merely observing each person separately”.

Perspektif populasi mengandung implikasi, epidemiologi mengidentifikasi masalah kese-hatan masyarakat yang penting (public health importance), mengidentifikasi penyakit dan kematian yang banyak terjadi pada masyarakat, mengidentifikasi kelompok-kelompok yang berisiko tinggi untuk mengalami penyakit, menjelaskan kausa terjadinya perbedaan risiko antar kelompok-kelompok di dalam populasi. Fokus studi epidemiologi bukan individu, melainkan kelompok individu, misalnya kelompok pasien tertentu di rumahsakit, kelompok pekerja pabrik, kelompok pekerja seks komersial, kelompok perokok tembakau, kelompok bayi prematur, kelompok bayi dengan berat badan lahir rendah, dan sebagainya. Gambar 2 menyajikan epidemiologi sebagai sains populasi.

Perspektif populasi juga mengandung arti, epidemiologi memperhitungkan kausa penyakit yang terletak pada level makro, yaitu populasi dan lingkungan. Seperti ilmu-ilmu sosial lainnya, epidemiologi mempelajari faktor lingkungan, sosial, ekonomi, kultural, politik, sebagai kausa jauh (distal cause) untuk terjadinya penyakit pada level individu dan populasi (Joffe dan Mindell, 2002; Marmot, 2001).


Mengapa perlu memperhitungkan kausa pada level populasi dan lingkungan? Secara teoretis variasi distribusi penyakit pada berbagai populasi tidak hanya ditentukan oleh paparan langsung agen kausal penyakit. Sebab individu-individu merupakan mahluk hidup dalam lingkungannya, baik lingkungan fisik, sosial, ekonomi, maupun kultural. Implikasinya, kualitas dan kuantitas paparan kausa dekat dipengaruhi oleh determinan kontekstual/ lingkungan tersebut. Dengan kata lain, berjalannya mekanisme kausal karena paparan oleh kausa dekat tergantung dari faktor-faktor lingkungan fisik, sosial, ekonomi, kultural, dan politik. Sebagai contoh, insidensi infeksi HIV/AIDS di Sub-Sahara Afrika yang meningkat pesat relatif dibandingkan dengan belahan dunia lainnya kiranya tidak hanya ditentukan oleh karakteristik mikroba HIV (misalnya, infektivitas dan patogenesitas HIV), tetapi juga faktor-faktor lingkungan sosial, kultural, ekonomi, seperti poligami, subordinasi perempuan, perilaku seksual yang longgar, kemiskinan, kelangkaan sarana dan infrastruktur kesehatan, dan sebagainya, yang mempengaruhi laju transmisi HIV.

Perspektif populasi dalam epidemiologi berguna untuk mempelajari tiga hal: (1) Mengidentifikasi variasi frekuensi penyakit pada berbagai populasi yang berbeda menurut orang, tempat, dan waktu; (2) Menentukan kausa yang melatari penyakit pada populasi, baik determinan lingkungan, ekonomi, sosial, kultural, dan politik; (3) Memahami mekanisme sosial yang mempengaruhi distribusi penyakit pada populasi (Ibrahim et al., 1999). Pengetahuan yang diperoleh dengan perspektif populasi berguna untuk menciptakan lingkungan fisik, sosial, ekonomi, kultural, politik, yang dapat meningkatkah status kesehatan dan kesejahteraan populasi secara keseluruhan.


Di samping perspektif populasi, epidemiologi mempelajari distribusi dan determinan penyakit dengan menggunakan perspektif biomedis (sistem mikro) (Gambar 3).

Secara historis epidemiologi memang berkembang dari ilmu kedokteran. Dengan perspektif biomedis epidemiologi mempelajari pengaruh biologis paparan oleh kausa dekat (proximate cause), disebut juga kausa langsung (immediate cause), yang terletak pada level mikro, yaitu molekul, sel, dan sistem tubuh, terhadap terjadinya penyakit. Kausa dekat meliputi agen infeksi, toksin, dan gen. Demikian pula dengan menggunakan paradigma “Black box” (kotak hitam), epidemiologi mempelajari pengaruh kausa antara (intermediate cause) yang terletak pada level individu terhadap risiko terjadinya penyakit, seperti kebiasaan merokok, aktivitas fisik, dan kebiasaan makan.

Pendekatan biomedis dalam riset epidemiologi bertujuan mengidentifikasi kausa-kausa langsung dan memahami mekanisme biologis tentang terjadinya penyakit maupun penyebaran penyakit. Dengan perspektif biomedis, sasaran penerapan riset epidemiologi adalah mengendalikan penyakit pada individu-individu, baik dengan cara mengurangi paparan dengan agen penyakit, atau memberikan intervensi kesehatan preventif secara langsung kepada individu-individu yang telah mengalami paparan tersebut agar tidak mengalami proses patologis lebih lanjut secara klinis.

The Black Box dan The Chinese Box. Seiring dengan meningkatnya insidensi penyakit kronis tidak menular di negara-negara Barat, sejak pertengahan abad keduapuluh banyak riset epidemiologi dilakukan untuk mempelajari relasi antara paparan dan penyakit kronis. Pada umumnya riset epidemiologi penyakit kronis menggunakan paradigma “Black box”. Paradigma “Black box” mempelajari hubungan paparan-penyakit tanpa perlu mengetahui patogenesis atau faktor-faktor dalam mekanisme kausal paparan-penyakit pada level molekul, sel, dan sistem tubuh. Paradigma “Black box” mempelajari hubungan antara faktor risiko pada level individu seperti gaya hidup (diet, aktivitas fisik, perilaku seks), agen (makanan), atau lingkungan (polusi, merokok pasif) dengan penyakit kardio-vaskuler, kanker, dan diabetes melitus. Pencegahan penyakit kronis dilakukan dengan cara mengontrol faktor risiko tersebut, misalnya memodifikasi (mengubah) gaya hidup.

Paradigma “Chinese box” (kotak China) mengintegrasikan perspektif populasi dan biomedis, dengan mempelajari relasi paparan-penyakit dalam tatanan struktur lokal pada masing-masing level, maupun antar hirarki level dari level molekul dan gen hingga level populasi. Riset epidemiologi yang menggunakan pendekatan itu disebut eko-epidemiologi (Susser dan Susser, 1996). Eko-epidemiologi menganalisis determinan dan penyakit pada berbagai level tatanan (organisasi), baik di dalam masing-masing level maupun lintas konteks dengan menggunakan teknik analisis canggih dan teknologi biologi molekuler untuk mempelajari paparan dengan lebih mendalam sampai ke level gen dan molekul (Susser dan Susser, 1996; Foxman dan Riley, 2001). Eko-epidemiologi menganalisis sistem yang menghasilkan pola penyakit pada populasi. Dengan “sistem” dimaksudkan kumpulan dari faktor-faktor yang terkoneksi satu dengan lainnya dalam suatu bentuk hubungan yang koheren; semua faktor itu bekerja menuju tujuan yang sama atau tujuan bersama, yaitu terjadinya penyakit. Jadi fokus eko-epidemiologi adalah memperluas hubungan antara variabel-variabel paparan dan penyakit yang biasa dilakukan dalam epidemiologi klasik, menjadi analisis tentang sistem yang menyebabkan terjadinya paparan dan menyebabkan paparan itu berlangsung untuk menyebabkan penyakit (Koopman, 1996; Tuskegee University, 2011).

Susser dan Susser (1996b) dalam artikel “Choosing a Future for Epidemiology” menulis “The present era of epidemiology is coming to a close. The focus on risk factors at the individual level – the hallmark of this era – will no longer serve. We need to be concerned equally with causal pathways at the societal level and with pathogenesis and causality at the molecular level”. Tetapi mengapa perlu eko-epidemiologi? Mengapa hubungan paparan-penyakit dipandang penting untuk dipelajari multilevel? Karena faktor lingkungan fisik dapat mempengaruhi materi genetik pada individu manusia. Interaksi gen-lingkungan mempengaruhi kerentanan individu manusia untuk mengalami suatu penyakit. Karena itu pada akhir dekade 70an berkembang epidemiologi molekuler. Epidemiologi molekuler mempelajari kontribusi faktor risiko genomik dan lingkungan terhadap kejadian penyakit (Foxman dan Riley, 2001). Hampir semua penyakit terjadi sebagai hasil dari interaksi kompleks antara struktur genetik individu dan agen lingkungan. Hubungan antara kesehatan dan determinan kesehatan dapat dituliskan dalam model sebagai berikut:

Kesehatan = Gn + En + GnxEn + Dnoise

di mana Gn merupakan efek murni genetik, En efek murni lingkungan, GnxEn interaksi gen-lingkungan, dan Dnoise adalah komponen determinan lainnya yang diasumsikan random.



Informasi genetik (genome) pada manusia berubah secara perlahan (evolusi) karena pengaruh lingkungan, sehingga menyebabkan terjadinya variasi genetik pada populasi manusia antar wilayah di dunia. Variasi genome manusia dapat dianalisis pada level individu untuk mempelajari perbedaan genome antara satu orang dengan orang lainnya dan efeknya terhadap terjadinya penyakit. Tetapi variasi genome dapat juga dianalisis pada level populasi untuk mempelajari penyebab mengapa genome antar populasi atau antar ras, misalnya perbedaan genomik antara populasi di Amerika, Afrika, dan Asia, dan dampaknya terhadap variasi geografis distribusi penyakit pada berbagai populasi tersebut (Jorde, 2003). Pengetahuan tentang relasi paparan-penyakit yang diperoleh melalui analisis multilevel berguna untuk mengendalikan penyakit pada level individu, keluarga, hingga populasi (Susser dan Susser, 1996; Susser, 1999; Hunter, 1999; Foxman dan Riley, 2001; Molecular Epidemiology Homepage, 2002; Slattery, 2002). Gambar 4 menyajikan contoh faktor risiko penyakit kronis pada berbagai level.





Dengan paradigma eko-epidemiologi, proses yang menyebabkan perbedaan distribusi penyakit/ status kesehatan menurut variasi lingkungan sosial pada suatu populasi dapat digambarkan sebagai sebuah garis berkelanjutan (kontinum). Pada satu ujung terletak karakteristik makropolitik dan ekonomi dari sebuah masyarakat, dilanjutkan dengan karakteristik budaya, ekonomi, dan dinamika sosial dari suatu wilayah atau komunitas, diteruskan dengan lingkungan sosial di suatu keluarga, lingkungan rumah dan lingkungan kerja, dilanjutkan dengan proses psikologis dan perilaku individu, diteruskan dengan fungsi fisik dan sifat berbagai sistem tubuh, dan berujung pada variasi pada level sel dan variasi genomik pada level molekul. Perbedaan distribusi penyakit/ status kesehatan menurut lingkungan sosial di suatu populasi merupakan hasil interaksi antara berbagai elemen yang berbeda pada kontinum tersebut. Implikasinya, untuk menjawab masalah riset epidemiologi tentang proses yang menghasilkan perbedaan status kesehatan/ penyakit pada populasi menurut lingkungan sosial diperlukan pendekatan multidisipliner (MacEntyre, 1994).

Penerapan. Pengetahuan yang diperoleh dari riset epidemiologi diterapkan untuk memilih strategi intervensi yang tepat untuk mencegah atau mengendalikan penyakit pada populasi (Thacker dan Buffington, 2001; CDC, 2010a, ThinkQuest, 2010). Dimensi epidemiologi yang menekankan aplikasi untuk mengontrol masalah kesehatan disebut epidemiologi terapan (applied epidemiology).

Dalam epidemiologi terapan dikenal beberapa konsep penting: 
(1) pencegahan; 
(2) pengendalian (kontrol); 
3) eliminasi; 
(4) eradikasi; dan 
(5) kepunahan. 
Pencegahan (prevention) merupakan upaya agar tidak terjadi penyakit pada individu dan komunitas. Pencegahan dalam arti luas mencakup: 
(1) pencegahan premordial; 
(2) pencegahan primer; 
(3) pencegahan sekunder; dan 
(4) pencegahan tersier. 
Pencegahan premordial mencegah terjadinya faktor risiko atau kausa penyakit. Pencegahan primer mencegah paparan (exposure) dengan faktor risiko atau kausa, infeksi, ataupun dimulainya proses patogenik. Pencegahan sekunder mencegah penyakit klinis. Pencegahan tersier mencegah akibat-akibat penyakit, seperti kematian, kecacatan, kekambuhan, komplikasi, dan sebagainya.


Pengendalian (control) merupakan upaya intervensi berkelanjutan (ongoing operations) yang bertujuan menurunkan insidensi, durasi dan prevalensi penyakit, risiko transmisi, efek infeksi (misalnya, efek psikososial infeksi HIV), serta dampak sosial ekonomi yang diakibatkannya, di suatu wilayah geografis, sampai pada tingkat yang dipandang tidak merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting (public health importance) oleh pihak berwewenang dan masyarakat. Contoh: pengendalian diare, malaria, di suatu wilayah.


Eliminasi (elimination) penyakit merupakan upaya intervensi berkelanjutan yang bertujuan menurunkan insidensi dan prevalensi suatu penyakit sampai pada tingkat nol di suatu wilayah geografis. Upaya intervensi berkelanjutan diperlukan untuk mempertahankan tingkat nol. Contoh: eliminasi tetanus neonatorum, poliomyelitis, di suatu wilayah. Eliminasi infeksi merupakan upaya intervensi berkelanjutan yang bertujuan menurunkan insidensi infeksi yang disebabkan oleh suatu agen spesifik sampai pada tingkat nol di suatu wilayah geografis. Eliminasi infeksi bertujuan memutus transmisi (penularan) penyakit di suatu wilayah. Upaya intervensi berkelanjutan diperlukan untuk mencegah terulangnya transmisi. Contoh: eliminasi campak, poliomyelitis, dan difteri. Eliminasi penyakit/ infeksi di tingkat wilayah merupakan tahap penting untuk mencapai eradikasi global.

Eradikasi (eradication, pemberantasan, pembasmian) merupakan upaya intervensi berkelanjutan yang bertujuan menurunkan insidensi dan prevalensi penyakit sampai ke tingkat nol secara permanen di seluruh dunia. Jika eradikasi telah tercapai maka tidak diperlukan lagi upaya-upaya intervensi. Contoh: cacar (small pox, variola). Kebijakan di banyak negara, tujuan intervensi kesehatan dalam jangka waktu tertentu adalah mengontrol penyakit, bukan eradikasi penyakit. Eradikasi penyakit dalam jangka waktu tertentu merupakan target yang terlalu ambisius, tidak realistis, sehingga tidak akan tercapai. Eradikasi merupakan tujuan jangka panjang intervensi kesehatan untuk waktu yang tidak terbatas. Itulah sebabnya lembaga pemerintah yang bertanggungjawab dalam memimpin dan mengkoordinasi aneka intervensi kesehatan untuk mengatasi masalah penyakit di AS disebut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), bukan “Center for Disease Eradication”. Demikian pula direktorat jenderal di bawah naungan Kementerian Kesehatan yang bertanggungjawab mengatasi masalah penyakit pada populasi di Indonesia disebut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP&PL).

Kepunahan (extinction) merupakan keadaan di mana tidak ada lagi agen infeksi tertentu di alam maupun di laboratorium. Contoh: belum ada.

Contoh: Epidemi (outbreak) adalah keadaan di mana terjadi peningkatan jumlah kasus melebihi ekspektasi normal pada suatu populasi di suatu waktu. Investigasi epidemi seperti yang dilakukan John Snow di London antara 1849 dan 1854 dilakukan untuk mengetahui berbagai aspek masalah epidemi kolera dan mengendalikan masalah tersebut. Dengan menggunakan metode ilmiah Snow meneliti siapa yang terkena penyakit dan kematian (WHO), berapa banyak kasus penyakit dan kematian yang terjadi (HOW MANY), di mana masalah itu terjadi (WHERE), mengapa masalah itu terjadi (WHY), dan bagaimana masalah itu terjadi (HOW). Snow menemukan, sumber outbreak kolera adalah pompa air minum terkontaminasi yang terletak di Broad Street. Air minum yang terkontaminasi disuplai oleh sebuah perusahaan air minum yang mengambil sumber air tercemar dari bagian hilir Sungai Thames. Berdasarkan hasil investigasi Snow, otoritas di London mengambil langkah-langkah pengendalian (control) yang tepat untuk menghentikan outbreak, dan membuat kebijakan untuk mencegah terulangnya masalah yang sama di masa mendatang. Pihak berwewenang menutup pompa air untuk memutuskan transmisi penyakit dan outbreak kolera segera berhenti.



tulisan ini di buat oleh : Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD


PENGANTAR EPIDEMIOLOGI , bagian 2 : TUJUAN EPIDEMIOLOGI









Axact

ARTIKEL KESEHATAN

Bismillah...Blog ini merangkum beberapa artikel kesehatan yang ada di dunia maya sehingga menjadi sebuah blog kesehatan terpercaya. Kami mengucapkan terima kasih kepada narasumber artikel kesehatan, semoga artikel yang telah di baca banyak orang membawa manfaat dan penulis artikel pertama mendapatkan pahala dari Alloh.

Post A Comment:

0 comments: