Resistensi obat adalah kemampuan sejenis parasit untuk terus hidup dalam tubuh manusia, berkembang biak dan menimbulkan gejala penyakit meskipun telah diberikan pengobatan secara teratur baik dengan dosis standar maupun dosis yang lebih tinggi yang masih bisa ditolerir oleh pemakai obat (Sutisna, 2004).
Ada beberapa teori terjadinya resistensi pada P.falciparum. Pertama karena di dalam tubuh parasit ada gen yang tidak peka dan ada yang sensitif terhadap obat tertentu, gen yang satu dapat menjadi lebih dominan daripada gen yang lain, sehingga menimbulkan adanya strain yang tidak peka dan strain yang sensitif. Teori kedua adalah mutasi gen dapat terjadi dalam tubuh parasit, yang memungkinkan parasit tersebut menjadi tidak peka terhadap suatu obat dengan dosis atau aktivitas tertentu. Mutasi ini timbul karena interaksi antara tingginya angka penularan dengan pengobatan yang terus menerus dalam jangka waktu yang lama, sehingga terjadi seleksi atau mutasi gen pada parasit tersebut (Maryatun, 2004).
Masalah resistensi parasit terhadap obat antimalaria merupakan tantangan besar yang dihadapi dalam upaya pemberantasan malaria. Resistensi obat ini berimplikasi pada penyebaran malaria ke daerah-daerah baru dan munculnya kembali pada daerah yang dulunya telah dieradikasi. Resistensi obat juga mempunyai peranan penting dalam terjadinya epidemi atau Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia, yang diperberat dengan adanya perpindahan atau mobilitas penduduk yang besar dengan membawa parasit yang resisten (Tjitra, 2004).
Walaupun upaya penanggulangan malaria sejak lama dilaksanakan namun dalam beberapa tahun terakhir terutama sejak krisis ekonomi 1997 daerah endemis malaria bertambah luas, bahkan menimbulkan KLB pada daerah-daerah yang telah berhasil menanggulangi malaria. Pada tahun 2003 malaria sudah tersebar di 6.052 desa pada 226 kabupaten di 30 propinsi. Kondisi ini diperberat dengan semakin luasnya daerah yang resisten terhadap obat antimalaria yang selama ini digunakan yaitu klorokuin bahkan juga sulfadoksin-pirimetamin (Depkes, 2003). Sejak 1997 sampai Mei 2005 telah terjadi KLB malaria di 38 propinsi yang meliputi 47 kabupaten/kota dengan jumlah kasus 32.987 penderita dan 559 kematian akibat malaria. Case Fatality Rate (CFR) malaria berat yang dilaporkan dari beberapa rumah sakit berkisar 10-15% (Depkes, 2005).
Resistensi P.falciparum terhadap klorokuin pertama kali dilaporkan pada tahun 1960 dari Kolombia (Amerika Selatan) dan Thailand. Saat ini resistensi P.falciparum terhadap klorokuin telah menyebar hampir di seluruh negara di Amerika Tengah serta Selatan, Asia, dan Afrika, tidak terkecuali di Indonesia (Sutisna, 2004).
P.falciparum yang resisten klorokuin pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1974 di Propinsi Kalimantan Timur. Selanjutnya dari tahun ke tahun wilayah malaria yang penderitanya resisten terhadap obat antimalaria semakin meluas. Hingga tahun 1996 telah ditemukan resistensi P.falciparum terhadap klorokuin dengan derajat yang berbeda di semua propinsi. P.falciparum yang resisten terhadap sulfadoksin-pirimetamin secara in vivo dan in vitro juga telah ditemukan antara lain di 11 propinsi di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Suatu perkembangan yang memprihatinkan adalah dijumpainya P.vivax yang resisten terhadap klorokuin antara lain di Irian Jaya, P.Nias, Maluku, dan Flores. P.falciparum yang resisten terhadap kina belum pernah ditemukan secara in vivo (Depkes RI, 2003).
Sebagai respons terhadap terjadinya resistensi P.falciparum terhadap klorokuin dan obat-obat antimalaria lain, maka saat ini berkembang kecenderungan untuk menggunakan obat-obat antimalaria dalam kombinasi yaitu dengan memakai dua jenis atau lebih obat antimalaria yang mempunyai cara kerja farmakologi yang berbeda terhadap parasit malaria untuk mengobati malaria falciparum. Tujuan pemakaian kombinasi obat-obat antimalaria ini selain untuk meningkatkan efek obat-obat bersangkutan secara sinergis dan aditif, juga mencegah timbulnya resistensi P.falciparum secara cepat terhadap setiap obat bila digunakan secara tunggal (Sutisna, 2004). Hal ini diperkirakan karena dengan penggunaan secara kombinasi, peluang untuk menjadi resisten terhadap kedua obat yang dikombinasikan itu semakin kecil yaitu hasil perkalian peluang masing-masing obat itu untuk menjadi resisten bila digunakan secara tunggal. Pada saat ini penggunaan kombinasi derivat artemisinin telah terbukti efektif dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penyakit malaria (WHO, 2006).
Post A Comment:
0 comments: